Sudah 3 tahun berlalu, sejak terakhir aku berjumpa dengannya. Mungkin kelulusan dibangku SMA menjadi salam perpisahan manis bagi kami. Sempat bagiku mengobrol dengannya, mungkin dua bulan yang lalu, ketika dia tiba - tiba mengirim pesan melalui BBM. Mungkin saat itu hatiku sedang baik, sehingga mau membalas pesan yang iya kirimkan. Jujur saja, mati - matian aku ingin melupakan sosoknya, mati - matian aku ingin melupakan perasaanku kepadanya, tetapi semakin aku coba melupakannya, semakin pula aku mengingatnya. Salahkah jika kita membenci seseorang karena perasaan kita yang tidak terbalas. Seperti itulah aku, sakit hati yang kurasakan belum juga bisa padam, apalagi ketika aku tahu bahwa dia mencintai lelaki lain.
Yang ku tahu, dia suka boneka kelinci dan warna putih, mungkin bukan kebetulan tapi hal yang disukainya sangat cocok untuk menggambarkan dirinya. Wajahnya yang manis dan lugu, kepolosan tingkahnya, dan kebaikan hatinya, sukses merebut hati siapa saja yang melihatnya. Tapi, seperti kelinci, semakin kita mendekatinya, dia akan melompat menjauh, sulit untuk menggapainya.
Bingung menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Apakah aku membencinya, atau malah merindukannya. Terkadang aku coba untuk mengikhlaskannya, tetapi rasa pilu di hati ini tak kunjung terobati. Aku, menyimpan perasaan kepadanya selama 5 tahun, berharap cinta ini berbalas. Selama 5 tahun aku menjadi teman terdekatnya, sahabat baiknya. Sikapnya yang baik kepadaku, perhatiannya, dia yang selalu membuatku semangat untuk berangkat ke sekolah, dia yang membuat hari - hariku menjadi menyenangkan, tingkahnya yang lucu dan lugu, tawanya, senyumnya, yang sukses merebut hatiku dan membuatku mempertahankan cintaku kepadanya selama 5 tahun. Tapi apa daya, kisahku tak berakhir indah. Diakhir penantianku, dia malah menyukai lelaki lain, yang tidak lain adalah teman dekatku, dan teman dekatnya juga. Bahkan sampai saat ini, hubungan mereka masih bertahan.
Entah apa yang ada di pikiranku, 3 tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk bisa melupakannya, untuk bisa mengikhlaskannya. Terlebih lagi aku dan dia, sekarang berada di jalan yang berbeda, jarak yang sangat jauh memisahkan kami, membuat aku bernafas lega karena berharap tidak akan bertemu lagi dengannya. Entah aku pengecut, atau mencoba lari dari kenyataan, tapi aku benar - benar tidak ingin bertemu dengannya. Setiap kali ada kesempatan untuk bertemu, aku tidak pernah mau, aku menghindar.
3 tahun berlalu membuat raut wajahnya, suaranya, aromanya, dan tingkahnya semakin samar diingatanku, tapi terkadang ingatan itu menguat ketika tiba - tiba dia terlintas di pikiranku. Berbagai cara ku coba untuk menghapusnya dari ingatanku. Memblokir semua media sosialnya, mengganti nomor handphone, mencoba mencari sosok lain yang bisa menggantikannya. Tapi, apa daya, dia masih bisa muncul dipikiranku, muncul di google ketika aku sedang searching di internet, dan dia pun bisa muncul di sebuah grup bbm yang aku dan dia ikuti. Dan aku merasa, tidak ada orang lain yang sama sepertinya, dan tidak ada orang lain yang mempu mengalahkan posisinya yang begitu istimewa di hatiku.
Tuhan, satu pintaku, jauhkan ia dariku, atau buatlah aku mengikhlaskannya.
*****************
Siang yang cukup panas dan melelahkan, membuatku bergegas melangkahkan kaki keluar kelas. Bel tanda pulang sekolah membuatku girang untuk segera mengakhiri kegiatan sekolah hari ini. Aku, seorang laki - laki yang bertubuh kecil, berkulit sawo matang, berambut cepak, bertubuh kurus, dan mungkin berwajah manis, dengan berseragam putih biru, mengenakan sepatu hitam yang sering dipakai anak sekolahan pada umumnya, dan membawa tas punggung hitam yang kelihatannya sangat berat karena banyaknya buku - buku yang selalu ku bawa ke sekolah. Aku adalah seorang siswa SMP di salah satu sekolah negeri di kotaku. Aku duduk di bangku kelas X. Mungkin dengan fisikku yang sekarang, membuatku tidak terlalu populer dan tidak terlalu disukai banyak perempuan. Tapi meski begitu, ada sedikit yang bisa aku banggakan yaitu kepintaran yang ku miliki. Saat ujian masuk SMP, aku memperoleh peringkat pertama dari kurang lebih 300 siswa, dan aku memperoleh peringkat 3 besar di kelas. Aku bukan orang luas dalam bergaul. Aku hanya berteman dengan teman sekelas yang biasa ku ajak berbincang dan bercanda, juga teman kursusku di salah satu lembaga kursus di kecamatan tempat tinggalku. Pernah aku merasa, banyak orang yang membenciku karena aku banyak bicara dan konyol.
Saat melangkah keluar kelas, pandanganku tertuju kepada seseorang. Seorang anak perempuan yang berkulit putih,
nggak seputih orang Cina, tapi putih orang Indonesia, kulitnya tidak
terlalu coklat (sawo matang) seperti orang Indonesia pada umumnya. Rambutnya
pendek, mungkin sebahu, agak sedikit bergelombang. Matanya besar, tapi tidak
sebesar ikan mas, cuma terlihat agak besar dan lebar. Hidungnya tidak terlalu
mancung dan tidak terlalu pesek. Mulutnya sedikit lebar, tapi tidak terlalu lebar, mungkin sedikit aneh kalau mulutnya terlalu lebar. Di pipinya ada bintik - bintik hitam halus,
terlihat jelas kalau dilihat dari dekat. Kalau dibayangkan terlalu detail,
mungkin dia terlihat jelek, tapi percayalah, tidak sejelek itu pada kesan
pertama. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tapi
kelihatannya ia lebih tinggi sedikit dariku. Dia juga tidak terlalu gemuk
dan tidak terlalu kurus. Postur tubuhnya hampir sama dengan perempuan
seumurannya pada umumnya. Ia memakai seragam sekolah putih, rok biru, dan tas
di punggungnya. Ia sedang berdiri di depan kelasku bersama dua orang temannya. Aku mengenal salah satu dari dua orang temannya itu. Ku lihat mereka
bertiga sedang mengobrol sambil bercanda, terdengar mereka saling mengejek satu sama lain. Sekilas aku mendengar temannya mengejeknya dengan sebutan seperti nama ikan, ya nama sebuah ikan, jelas sekali di telingaku.
Kelihatannya mereka teman sekelas dan berteman akrab. Aku mendekat, kemudian ku sapa salah satu temannya yang ku kenal. Sekali lagi aku memperhatikannya. Kulihat lagi perempuan itu, biasa
saja rupanya, tidak ada yang menarik. Matanya yang besar dan senyumnya
yang manis membuatku tertarik. Sifatku yang pemalu dan tidak mudah bergaul
membuatku enggan untuk mengucapkan sepatah kata dua patah kata kepadanya.
Tampak bahwa kami tidak mengenal satu sama lain, dan sama - sama merasa asing.
Pertemuan singkat itu menjadi momen pertama aku bertemu dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar